Indahnya Cloning

Sandal kayu alias klompen (2016)

Kasus pertama. Alkisah terjadilah sebuah wawancara by phone antara tiga jurnalis dengan satu narasumber di ujung telpon. Jurnalis #1 memakai hapenya untuk telpon dan bicara sama si narsum. Lalu percakapan itu di-loudspeaker. Jurnalis #2 & #3 mendengarkan. Selesai wawancara, rekaman itu dikirim oleh Jurnalis #1 ke jurnalis #2 & #3.

Besoknya narasumber menghubungi jurnalis #2. Dia protes berita yang dimuat di media online tempat jurnalis #2 bekerja. Narsum merasa nggak pernah diwawancarai olehnya. Tangkapan layar percapakan via wasap antara narsum sama jurnalis #2 diunggah ke medsos. Jurnalis #2 dibully di dunia maya. Narsum menghubungi kuasa hukumnya. Mereka berencana bikin pertemuan sama jurnalis #2.

Jurnalis #2 diskors beberapa hari oleh atasannya. Pertemuan itu dihadiri perwakilan dari media. Bukan dihadiri jurnalis #2. Kedua kubu saling minta maaf.

Sodara-sodara, ternyata jurnalis #1 nggak pernah ngasih tahu narsum kalau wawancara by phone itu juga didengarkan jurnalis #2 & #3. Dia juga nggak kasih tahu narsum kalau wawancara itu direkam. Dia juga tidak memberi tahu narsum kalau rekaman itu akan dibagikan ke dua temannya.

Urusan wawancara, narsum harus tahu kalau dia lagi diwawancarai. Dia harus tau dengan siapa dia bicara. Untuk apa dia bicara. Dan atas kompetensi apa dia bicara. Kenapa? Karena kerja jurnalistik adalah kerja jujur. Bukan kerja tipu-tipu. Maka ke narsum, jurnalis musti jujur. Kalau jurnalis jujur, maka dia layak dipercaya. Trus kalau narsum nggak jujur? Ya kan wartawan musti uji semua data/ informasi yang dikasih narsum. Diverifikasi = diuji. Pasti paham ini kan Ferguso?

Wajar aja narsum protes. Tapi, protesnya ke redaksi bukan ke jurnalis yang menulis. Karena apapun yang diturunkan oleh redaksi sepenuhnya kan tanggung jawab redaksi. Tindakan membully jurnalis di medsos juga nggak  bener. Kan sudah ada salurannya.

Kasus kedua. Jurnalis X adalah freelancer untuk TV abu-abu. Lucu kan? Freelance tapi kok bekerja buat satu media? Freelancer kan seharusnya bebas nyetor berita ke media manapun. Di negeri berflower +62 memang banyak yang lucu. Praktik jurnalisme kayak ini memang salah satu kelucuan. Dia punya tuyul yang bertugas membantu dia. Sebut saja identitasnya tuyul #1. Membantu jurnalis X meliput apapun.

Di hari itu, tuyul #1 setor berita ke bosnya, jurnalis X. Karena terkait dengan kriminalitas yang dilakukan seorang anak. Maka isu ini tinggi. Isu tinggi peluang tayangnya besar. Tanpa pikir panjang, dikirimlah berita itu. Benar: tayang. Beberapa hari kemudian jurnalis X dapat panggilan dari polisi. Dia harus mempertanggung jawabkan beritanya. Pelapornya adalah orang tua si anak. Alasannya, identitas si anak tayang di tv secara gamblang. Muka nggak diblur. Nama ditulis lengkap.

Kelabakanlah dia. Juralis X menanyakan tentang berita itu ke tuyul #1. Tuyul #1 mengaku cloning gambar dari tuyul #2.

Bingung? Ini jawabannya validnya. Jurnalis Z adalah freelancer untuk TV kelap-kelip. Dia juga punya tuyul. Sebut saja namanya tuyul #2. Tugasnya sama seperti tuyul #1. Membantu jurnalis Z meliput apapun. Tuyul #1 & #2 sering saling cloning liputan.

Sesama tuyul saling bantu. Kalau banyak tempat yang harus didatangi dengan waktu yang bersamaan, tentu tak mungkin membelah diri. Masak mau pakai pintu ke mana sajanya Doraemon? Itu kah khayalan. Ini dunia nyata, Bos. Dunia nyata kejam, Bos. Bagi tugas jadi solusi yang solutif meski ujungnya mematikan.

Hal melaporkan berita ke polisi memang tidak benar. Istilah birokrasinya, nggak prosedural. Karena narasumber seharusnya mengajukan hak jawab atau melapor ke Dewan Pers. Tapi apa yang bisa dilakukan Dewan Pers maupun media kalau narsum yang seharusnya dilindungi, malah identitasnya dibuka? Apalagi berita sudah tayang? Kalau online bisa diralat. Bagaimana dengan tv yang sudah terlanjur tayang? Bisa ditarik? Emang tarik tambang?

Kemarahan si orang tua tersebut sangat bisa dipahami. Dan sangat manusiawi. Betapa tidak? Anaknya dilabel kriminal oleh media dan disebarluaskan ke seluruh dunia. Ralat jelas nggak bisa dilakukan. Permintaan maaf juga agaknya nggak bisa menghapus label tadi.

Apa dong yang bisa dilakukan supaya identitas ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum) terlindungi? Bisa tidak usah menulis nama lengkap si anak. Alamat, asal sekolah, nama orang tua, nama kerabat si ABH juga tak usah disebut. Ya percuma juga keles nama lengkap anak nggak ditulis tapi keterangan lain yang mendukung terungkapnya identitas dia ditulis gamblang. Dan tentunya tidak perlu mewawancarai si anak. Ini akan menciptakan trauma pada anak. Cara lain adalah pengawasan yang ketat pada tahap editing. Baik editing naskah maupun gambar.

Ada banyak lubang dalam kasus ini. Pertama tentang freelancer yang memelihara tuyul. Hubungan kerja ini tak jelas. Urusan perut bisa jadi salah satu landasannya. Keberadaan tuyul atau yang lebih keren disebut stringer, tidak pernah diakui redaksi. Tidak diakui bukan berarti mereka tidak tahu lho ya. Bisa saja tahu tapi tutup mata. Kenapa? Ya menguntungkan redaksi kok. Menghasilkan berita, mau dibayar rendah, mau kerja tanpa legalitas, & mau kerja tanpa batasan jam kerja. Oh sungguh! Betapa spesies tenaga kerja yang diidamkan pengusaha. Sungguh mulia pengabdian dan pengorbanan tuyul demi terkenalnya media.

Kedua. Tentang penyelesaian sengketa jurnalistik. Jalurnya adalah hak jawab dan lapor Dewan Pers. Trus kalau kasus seperti di atas yang identitas anak terlanjur dipublikasikan? Kalaupun sudah lapor DP apakah identitas si anak bisa lantas dikaburkan? Pastinya tidak. Mangkanya deh. Jadi wartawan itu tidak sekadar nulis semua info yang didapat. Menulis berita juga ada koridornya. Namanya kode etik. Melanggar kode etik memang tidak ada hukumannya. Tapi membuat urusan ruwet, iya. Nggak patuh kode etik = runyam.

Jurnalis perlu paham bagaimana menulis berita-berita dengan isu-isu tertentu. Meliput anak misalnya. Memberitakan ABH  sangat beda. Tidak sama dengan menulis kuliner. Bagaimana meliput dan menulisnya? Mangkanya ikut pelatihan. Pelatihan diadakan supaya wartawan makin berkompeten. Yang kayak gini nggak akan diberi sama atasanmu di redaksi. Boro-boro diberi. Mereka paham aja hebat.

Ketiga. Masyarakat belum sepenuhnya terliterasi tentang penyelesaian sengketa jurnalistik. Jangnkan masyarakat. Polisinya aja nggak paham kok. Padahal udah ada MoU antara polisi dengan Dewan Pers. Buktinya ada jurnalis yang dipanggil polisi terkait pemberitaan mereka.

serat.id (20 Februari 2019): “Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra), resmi melayangkan surat penggilan terhadap dua jurnalis, Fadli Aksar dari Detiksultra.com dan Wiwid Abid Abadi  dari Okesultra.com,. Keduanya dipanggil 18 Februari 2019,” kata Divisi Advokasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrin, dalam keteranganya, Rabu, 20 februari 2019 

viva.co.id (12 Mei 2010): Puluhan Jurnalis di Makassar menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Pengadilan Negeri Makassar, Rabu, 12 Mei 2010. Aksi mengatasnamakan Koalisi Jurnalis Makassar ini memprotes penetapan tersangka terhadap wartawan SCTV, Juhry Samanery. Koalisi Makassar ini menganggap penetapan tersangka oleh Kepolisian upaya kriminalisasi pers.

suara.com (9 Maret 2018): Penyidik Subdit II/Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumatera Utara telah menetapkan LS salah seorang wartawan dari media online sebagai tersangka. LS dijerat karena dianggap melakukan penghinaan terhadap Kapolda Sumut Irjen Pol Paulus Waterpau.

Daftarnya masih panjang. Apalagi kalau dirunut ke belakang.

Tentang penyelesaian sengketa jurnalistik. Gampangnya gini. Kalau ada orang yang melaporkan jurnalis terkait berita, polisi harus menyarankan si pelapor untuk lapor ke DP. Tapi kalau wartawannya meres narsum ya polisi langsung aja proses. Itu kan kriminal. Berita bukan kriminal getooo.

Tugas siapa ngasih pemahaman ke masyarakat? Salah satunya ya tugas organisasi pers. Makanya gabung ke organisasi pers yang sehat. Yang mencerdaskan. Ngapain juga gabung ke organisasi yang nggak pernah ngasih literasi ke publik? Apa untungnya gabung sama organisasi pers yang kegiatannya malah bukan meningkatkan kapasitas jurnalis?

Keempat. Para freelancer yang cuma ngejar tayang musti paham. Hidupnya nggak melulu tergantung dari berita tayang. Jurnalis model gini nggak paham kalau kerjanya bukan melulu untuk perut mereka. Bahwa profesinya adalah pengabdian untuk masyarakat. Berita yang dia kirim adalah fix buat membela kepentingan publik. Kalau memang nggak mau paham itu, berhenti aja jadi wartawan, Gan.

Gajinya para frelancer memang benar dihitung dari berita tayang. Maka banyak kawan freelancer yang akan mengirim berita sebanyak-banyaknya. Ini juga yang mendorong sejumlah freelancer “memelihara” tuyul. Supaya bisa meliput banyak hal dan mengirim banyak berita. Sehingga peluang tayang akan semakin besar. Makin banyak tayang, transferan gaji makin banyak juga. Tapi kuantitas yang banyak apakah berbanding lurus dengan kualitas berita? Perlu diuji.

Terus seberapa terpercayakan karya para tuyul? Hedeeeh. Media tempat beritanya ditayangkan aja nggak mau mengakui dia. Kok menanyakan apakah tuyul bisa dipercaya? Berkompeten? Nggak tahu. Kredibel? Yo ebuh (Ya nggak tau). Maka hentikan praktek pertuyulan! Media wajib melarang praktek ini dengan melakukan pengawasan ketat terhadap karya jurnalistik para jurnalisnya.

Kelima. Ada juga jurnalis yang nggak paham filosofi jurnalistik. Ini parah. Dia pikir jadi jurnalis adalah pekerjaan yang biasa saja. Yang hanya bermanfaat untuk lolos dari operasi SIM. Atau bisa menerobos lampu merah. Jurnalis yang punya pikiran macam gini sebaiknya resign saja. Ibrat lalat, dia membawa penyakit. Redaksi perlu juga menguji para jurnalisnya secara berkala. Mengenai pemahaman mereka tentang jurnalistik sebagai pilar demokrasi.

Kalau jadi jurnalis dipahami cukup wawancara, menulis apapun yang keluar dari mulut narsum, maka dia tak ubahnya tadah liur narasumber. Atau gantungan baju. Yang bisanya cuma menunjukkan apa yang dipakaikan. Nggak mampu menguji data. Kalau dipahami seperti itu, pilihannya sebagai jurnalis perlu disudahi. Dia tak paham bahwa narsum bisa saja memanfaatkan profesi jurnalis. Kenapa? Ya karena narsum tahu kekuatan seorang wartawan.

Kalau Anda bukan jurnalis, coba tanya pada mereka yang mengaku jurnalis. Apa kaitan jurnalisitk dan HAM? Kalau si jurnalis tak bsia menjawab, bantu dia dengan jawaban ini:

Salah satu poin HAM adalah kemerdekaan berekspresi. Jurnalistik sebagai salah satu cara menyampaikan gagasan dan fakta adalah perwujudan dari kemerdekaan berekspresi itu. Maka secara langsung, jurnalistik adalah buah HAM. Untuk itu kalau ada jurnalis yang dianiaya, dihalangi liputan, bahkan dibunuh, sejatinya kekerasan itu secara langsung ditujukan pada masyarakat.

Btw, aku pernah jadi tuyul. Ngejar berita yang cuma sekadar tayang. Untungnya ketemu sama teman-teman jurnalis yang memberi pengaruh baik. Aku diliterasi. Dapat pemahaman yang benar soal jurnalistik. Eh iya… Cloning sejatinya adalah copy paste.

Leave a comment